Selasa, 29 Juli 2008

KASUS TRAFIKING DI LOMBOK TIMUR


Manusia merupakan subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, hak dan kewajiban tersebut harus benar-benar diperhatikan. Tindak pidana perdagangan manusia (trafiking) merupakan salah satu contoh pelanggaran terhadap hak dan kewajiban manusia sebagai subyek hukum. Salah satu kasus terkait dengan situasi tersebut adalah putusan perkara No.954/PID.B/2003/PN.JKT.SEL yaitu perbuatan memperdagangkan perempuan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dilakukan oleh terdakwa Ramdoni alias Rino dengan dibantu oleh terdakwa Yanti Sari alias Bela dan terdakwa Susanto NG, Para terdakwa didakwa oleh penuntut umum Dengan dakwaan primair Pasal 296 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan dakwaan susidair Pasal 296 KUHP jo Pasal 56 KUHP yang ditujjukan khusus terhadap terdakwa Susanto Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan bahwa hukum pidana dan UU nomor 23 tahun 2002 mengatur tentang trafiking dan untuk memberikan penjelasan mengenai kesesuaian putusan Pengadilan Negeri No.954/2003/PID.B/PN.JKT.SEL dengan aturan hukum yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yaitu data sekunder, data sekunder yang diperoleh, berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat juga berupa pendapat para pakar yang ahli mengenai masalah ini yang disampaikan dalam berbagai literatur baik dari buku, naskah ilmiah, laporan penelitian, media massa dan lain-lain. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur mengenai tindak pidana trafiking dalam Pasal 297 KUHP dan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal yang mengatur mengenai tindak pidana trafiking terdapat dalam Pasal 83 dan 88. Putusan hakim pidana No.954/PID.B/2003/PN.JKT.SEL telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku tetapi khusus terdakwa Susanto seharusnya hakim mengabulkan dakwaan subsidair dari penuntut umum karena terdakwa Susanto telah melakukan pembantuan berupa mengiklankan usaha yang dijalankan oleh terdakwa Ramdoni alias Rino. Demi memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi korban tindak pidana trafiking pemerintah sebaiknya segera mengesahkan Undang-undang yang khusus mengatur mengenai tindak pidana trafiking, serta hakim seharusnya mengkaji dan menelaah peraturan-peraturan lain mengenai kasus yang ditanganinya, sehingga hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, hak dan kewajiban tersebut harus benar-benar diperhatikan. Tindak pidana perdagangan manusia (trafiking) merupakan salah satu contoh pelanggaran terhadap hak dan kewajiban manusia sebagai subyek hukum. Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada pada era modern, dan konsep dasarnya adalah perekrutan, pemindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain baik antar wilayah dalam satu negara atau antar negara.
Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan dan anak terkait erat dengan kriminalitas dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian.
Di Indonesia, korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan paedophilia), dipakai serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti buruh perkebunan, pembantu rumah tangga (PRT), pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, juga untuk pelacuran. Traficking makin marak karena Indonesia tergolong dalam negara yang diasumsikan tidak serius dalam menangani trafiking, hal ini tercermin dari belum adanya perangkat undang-undang yang dapat mencegah, melindungi dan menolong korban, serta belum memiliki perundang-undangan untuk melakukan penghukuman pelaku perdagangan manusia.
Kitab undang-undang hukum pidana telah mencantumkan aturan mengenai perdagangan manusia dalam Pasal 297 KUHP :
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Hukum pidana adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana. Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelengarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Tujuan pidana bukan saja bernafaskan aspirasi bangsa Indonesia, melainkan harus juga berurat-berakar dalam batang tubuh bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain, tujuan pidana selain harus mencerminkan Pancasila, ia pun harus pula diterapkan dengan semangat dan jiwa Pancasila. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang satu dengan yang lain tidak saja berlainan, akan tetapi terkadang saling bertentangan.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, maka hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai serta memenuhi kepentingan itu. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebab timbulnya suatu kejahatan, antara lain aspek pembangunan yang makin jelas, adanya kesenjangan sosial, keadaan keluarga, lingkungan pergaulan, sosial ekonomi.
Masyarakat tidak hanya dihadapkan pada beberapa permasalahan pidana tetapi masyarakat juga dihadapkan pada beberapa permasalahan menyangkut akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri didalam kehidupan masyarakat. Menyangkut masalah pelaksanaan hukumnya baik dimulai dari proses awal sampai dikeluarkan keputusan bagi para pelaku tindak pidana harus tegas agar si pelaku jera dan tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana lagi.
Secara khusus hukum pidana berfungsi, yaitu:
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut;
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Kepentingan hukum adalah berupa segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga, wajib dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia, yang semuanya ini ditujukan untuk terlaksana dan terjamin ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Kepentingan hukum perorangan, misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, serta kepentingan hukum terhadap rasa susila.
2. Kepentingan hukum masyarakat, misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan negara dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya.
3. Kepentingan hukum negara, misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya.
Meskipun pemerintah sudah mulai menunjukkan perhatiannya terhadap trafiking seperti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak, namun sampai saat ini masih belum ada langkah-langkah konkrit untuk memiliki perangkat pencegahan, perlindungan dan pertolongan korban, serta penghukuman yang diperlukan untuk memberantas perdagangan manusia.
Saat ini, perdagangan manusia menjadi bisnis global yang memberikan keuntungan ketiga terbesar ketiga setelah perdagangan senjata dan obat-obatan terlarang. Trafiking merupakan sindikat kriminal internasional yang terorganisasi. Perdagangan manusia (trafiking) internasional biasanya disamarkan dalam proses penempatan buruh migran atau untuk kawin kontrak, perempuan lokal biasanya dibujuk oleh calo yang menawarkan gaji tinggi atau dalam bentuk perkawinan yang menjanjikan hidup mewah, Sejak mereka menerima tawaran tersebut sebenarnya mereka sudah masuk dalam jeratan perdagangan (trafiking), dan mereka selanjutnya mengalami berbagai bentuk eksploitasi, seperti pemalsuan dan pengambilalihan dokumen, menjadi budak hutang karena biayanya terlalu tinggi, menjadi korban perkosaan, budak seks serta bentuk-bentuk tindakan kekerasan lainnya, termasuk kekerasan fisik. Perempuan yang baru menjadi pengantin lalu dijadikan budak seks atau pola-pola kekerasan lain.
Telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah suatu masyarakat yang patriarkhal, sebagaimana juga di negara-negara lain di dunia. Patriarkhal sebagai suatu struktur komunitas di mana kaum lelaki yang memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang menguasai perempuan, yang nyata baik dalam kebijakan pemerintah maupun dalam perilaku masyarakat.
Sebagai contoh sederhana saja, perumusan tentang kedudukan istri dalam hukum perkawinan, kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh pria, serta kecenderungan mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan dalam bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi keberadaan perempuan dalam posisi yang tidak seimbang dengan laki-laki.
Dalam berbagai masyarakat di dunia, termasuk pula di Indonesia, keberadaan perempuan yang selalu lebih rendah dibanding kaum pria ini membawa sejumlah konsekuensi yang merendahkan peran mereka dalam masyarakat. Pada saat mereka masih berada di bawah naungan orang tua, anak perempuan dipandang sebagai milik (property) sang ayah; sehingga semua keputusan ada di tangan ayah. Ketika beranjak dewasa, posisi ayah kemudian banyak digantikan oleh saudara laki-laki-laki. Pada saat mereka memasuki perkawinan, pembayaran mahar atau mas kawin banyak dipandang sebagai pembeli wanita untuk masuk ke dalam keluarga si suami, sehingga dianggaplah mereka sebagai milik suami. Menempatkan anak perempuan lebih rendah daripada anak lelaki juga di beberapa negara telah banyak menimbulkan infanticide terhadap bayi perempuan.
Dalam kondisi yang dipicu oleh konstruksi sosial semacam ini, fenomena perdagangan manusia menjadi salah satu bentuk viktimisasi yang dialami khususnya oleh perempuan dan anak.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong dan melanggengkan terjadinya perdagangan (trafiking) perempuan dan anak, faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Semakin meluasnya kemiskinan dan besarnya pengangguran.
2. Rendahnya kesadaran akan persoalan perdagangan (trafiking).
3. Lemahnya penegakan hukum bagi pelaku perdagangan (trafiking).
4. Lemahnya pemahaman individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah tentang tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak asasi perempuan dan anak.
5. Adanya ketidak setaraan gender di masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak.
6. Adanya sex tourism.
Linda smith yang pernah menjadi anggota kongres Amerika serikat mengajak semua pihak untuk sama-sama menggunakan protokol Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 untuk mencegah, menanggulangi, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak.
Dengan menjadikan protokol PBB tahun 2000 tersebut sebagai pedoman, Linda Smith berkeyakinan tidak akan ada lagi perbedaan dalam menangani kasus-kasus trafiking meski hukum pada masing-masing.
Negara memiliki perbedaan pada penanganannya. Setidaknya dari protokol PBB tahun 2000 ada tiga hal yang harus dilihat untuk menilai apakah perbuatan seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai kasus trafiking, yaitu mulai dari proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaannya.
Kemudian dilihat dari jalan atau cara mempekerjakannya apakah ada ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan. Dari sisi tujuan dilihat dari unsur adanya praktek prostitusi, pornografi, kekerasasan atau ekploitasi seksual, kerja paksa dengan upah tidak layak, perbudakan atau yang menyerupainya. Jadi dengan melihat mulai dari proses perekrutan, jalan atau cara dan tujuan mempekerjakan seseorang untuk bekerja diluar negeri, tidak akan sulit menilai apakah seseorang telah melakukan trafiking.
Banyaknya praktek perdagangan manusia yang belum dapat ditindak lanjuti sebagaimana mestinya untuk menjatuhkan hukuman yang tepat atau sesuai kepada pelanggarnya, dan mengingat pentingnya sistem peradilan pidana di Indonesia yang harus dilaksanakan dan dijalankan secara baik dengan mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila dengan judul: “ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA TRAFIKING (Analisis Putusan Perkara No. 954 /PID.B/2003/ PN. JKT. SEL).

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hukum pidana dan UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak mengatur tentang trafiking?
2. Apakah putusan Pengadilan Negeri No.954/PID.B/2003/PN.JKT.SEL telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk memberikan penjelasan bahwa hukum pidana dan UU nomor 23 tahun 2002 mengatur tentang trafiking.
2. Untuk memberikan penjelasan mengenai kesesuaian putusan Pengadilan Negeri No.954/2003/PID.B/PN.JKT.SEL dengan aturan hukum yang berlaku.

D. Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsional diperlukan dalam suatu penelitian untuk dapat menentukan variabel-variabel yang akan diteliti, seperti pendapat Koentjaraningrat bahwa:
Konsep dasar pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka teoritis sudah jelas, bahwa sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang telah di definisikan oleh R. Merton: Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan adanya hubungan empiris.

Adapun konsep-konsep yang digunakan penulis untuk memberikan suatu pengertian yang jelas sehingga akan sama dalam persepsinya adalah sebagai berikut:
1. Trafiking adalah rangkaian kegiatan terhadap perempuan dan anak dengan maksud eksploitasi yang kegiatan penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, ancaman, paksaan, penculikan, penggunaan kekerasan dan perekrutan seseorang untuk diserahkan kepada orang lain.
2. Kendala adalah faktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi atau mencegah pencapaian tujuan.
3. Perdagangan adalah perniagaan; urusan berniaga.
4. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan fisik, psikologi, atau kerugian ekonomi yang diakibatkan suatu tindak pidana.
5. Modus operandi adalah cara kerja; cara melaksanakan dari suatu tindak pidana.
6. Tindak pidana adalah perbuatan pidana (perbuatan kejahatan).
7. Penegakan hukum adalah proses, perbuatan, cara menegakkan hukum.
8. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

E. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk penulisan skripsi ini menggunakan penelitian normatif (kepustakaan). Penelitian normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. . Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder yaitu melalui serangkaian kegiatan membaca, mengutip, menelaah perundang undangan yang berkaitan dengan permasalahan.
Data-data dalam penelitian ini bersumber pada data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka . Data sekunder yang diperoleh, berupa peraturan perundang-undang yang berlaku dapat juga berupa pendapat para pakar yang ahli mengenai masalah ini yang disampaikan dalam berbagai literatur baik dari buku, naskah ilmiah, laporan penelitian, media massa dan lain-lain.
Data sekunder juga diperoleh dari institusi-institusi terkait seperti Departemen, undang-undang, riset media, jurnal dan analisa-analisa lainnya yang berkaitan dengan perdagangan manusia.
Data sekunder dalam penelitian hukum normatif ini berupa:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang tediri dari Kitab Undang undang Hukum Pidana dan Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya ilmiah, surat kabar, buku-buku pedoman hukum dan internet.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus hukum.
Dalam rangka menjawab pertanyaan, setelah informasi berupa bahan-bahan hukum diperoleh dan dianalisis, kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk laporan hukum yang berbentuk skripsi.

1 Komentar:

Pada 9 Agustus 2008 pukul 22.20 , Blogger MAX ALWI mengatakan...

tolong lebih giat lagi menulisnya

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda